Menguliti Pretensi Basi Kaum Borjuasi: Heard It Through The Grapevine (풍문으로 들었소) (2015)

Sebenarnya Go Ah Sung adalah alasan utama saya mengikuti Heard It Through The Grapevine (HITTG) alias Poongmooneuro Deoreotso. Hanya karena saya begitu terkesan dengan filmnya sebelum drama ini, Elegant Lies (Wooahan Geojitmal). Namun ternyata kemudian semua elemen HITTG mengajak saya menikmati roller-coaster emosi sepanjang 30 episode.

“Semakin urban/modern/borjuis (saya lupa pastinya apa) suatu kaum, justru semakin puritan mereka.” Saya lupa pernah dengar pendapat ini di mana, mungkin dari Dave Lumenta saat peluncuran perdana Jurnal Selatan. Mungkin juga gak tepat seperti itu, tapi kira-kiranya begitulah.

HITTG menunjukkan kepuritanan kaum borjuis dengan cara yang paling mereka sukai, elegan. Sepanjang 30 episode, penulis Jung Sung Joo dan sutradara Ahn Pan Seok pol-polan muntah kritik dan orgasme pemikiran mengolok-olok kaum borjuis dan #negaragagal Korea Selatan.

vlcsnap-00070

Sesuai dengan judulnya, HITTG yang juga dikenal dengan judul “I Heard It As A Rumour” dengan cerdas mengadaptasi hobi “bisik-bisik tetangga” ini sebagai benang merah bercerita untuk mengupas #bebanborjuasi si kelas 1% masyarakat. Di Indonesia sendiri beberapa tahun lalu sempet heboh di media sosial tentang mailing list yang berisi gosip-gosip sosialita Jakarta.

HITTG menghadirkan drama komedi gelap dan satir yang menguliti pretensi-pretensi basi borjuasi dan perjuangan kelas yang tak pernah henti. Kisah percintaan abege Han In Sang (Lee Joon) dan Seo Bom (Go Ah Sung) yang tadinya saya pikir akan menjadi fokus HITTG sekaligus memainkan peranan drama romantis tradisional di drama ini, ternyata “hanya” digunakan sebagai epilog dari pertunjukan sesungguhnya, yaitu pertarungan pemikiran dan kegelisahan manusia-manusia dalam sebaran tatanan kelas sosial masyarakat yang berjenjang. Mungkin ini juga sebabnya HITTG nyaris diberi judul War Of Brilliant Minds”.

vlcsnap-00018

Manusia-manusia dalam kepala Jung Sung Joo sepertinya adalah manusia-manusia yang selalu berpikir dan dalam kegelisahannya mempertanyakan ketidakadilan yang dihasilkan oleh tatanan masyarakat yang kacau balau dan negara yang gagal hadir bagi warganya serta menolak pasif dengan menerima kondisi sosial sebagai sesuatu yang sudah sebagaimana mestinya.

Dengan kalimat-kalimat sederhana, Jung Sung Joo menembakkan berbagai kritik tajam yang seringkali disempilkan sekilas lalu dalam sebuah percakapan, padahal sentilan-sentilan seiprit tersebut mewakili kekhawatiran yang jauh lebih besar. Jung Sung Joo menghadirkan berbagai problematika sosial politik akibat dari ketidaksetaraaan masyarakat Korea Selatan dengan kecermatan detil yang, well as much as I hate to use this term, tapi, luar biasa.

Isu kesetaraan gender dimunculkan bukan melalui retorika, jargon dan gugatan, namun digambarkan dengan suatu kondisi yang memang sudah seharusnya seperti itu. Sebuah kondisi yang (sepertinya) sangat jauh dari kenyataan. Korea Selatan, seperti juga halnya dengan Jepang, memiliki budaya patriarki yang begitu kuat, bahkan cenderung misoginis. Kesetaraan gender sepertinya masih merupakan mimpi yang belum akan terwujud dalam jangka waktu dekat.

Dua drama Jung Sung Joo yang pernah saya tonton, HITTG dan “Secret Love Affair” nyaris tidak pernah, atau bahkan tidak sama sekali, menghadirkan dialog dan situasi yang seksis, yang kalaupun ada lebih pada menampilkan kenyataan daripada melestarikan diskriminasi itu sendiri.

HITTG juga menyindir ketakutan masyarakat Korea Selatan, terutama kaum borjuisnya yang dalam drama ini diwakili oleh sosok Han Jeong Ho, akan ide-ide sosialisme seperti yang dicetuskan Seo Bom melalui kritiknya terhadap ide dasar ekonomi pasar dan kapitalisme. Korea Selatan, seperti halnya Indonesia, merupakan negara boneka Amerika Serikat untuk mencapai ambisinya menjadi imperialis baru. Segala hal yang “berbau” kesetaraan dan “kiri” sukses dipropangandakan Amerika Serikat sebagai komunisme, yang artinya adalah kejahatan yang harus diperangi. Selama puluhan tahun, rakyat Indonesia juga ditanamkan propaganda ini oleh monster bernama Soeharto dan Orde Baru. Jika banyak negara boneka mulai menyadari keganasan Amerika Serikat, Korea Selatan sepertinya masih merupakan salah satu pendukung terbesarnya secara politik, ekonomi, bahkan budaya populer.

Carut marutnya sistem pendidikan pun tak lepas dari sorotan HITTG. Merupakan pengetahuan umum kalau dunia pendidikan Korea Selatan terobsesi dengan segala yang berbau “ter”. Tingkat dan peringkat pendidikan merupakan tiket untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi dan kesuksesan material. Seo Bom memiliki mimpi akan datang suatu masa dimana semua orang bisa mendapatkan pendidikan yang setara dan setinggi mereka mau tanpa harus menjadi anak cucu chaebol (konglomerat) yang bisa membayar biaya pendidikan privat maupun swasta serta menggaji tinggi guru-guru pribadi.

Di mata kaum borjuasi yang keribetan dengan pretensi-pretensi basinya, kita juga tidak perlu mengagung-agungkan pendidikan luar negeri. Kalau pun sekolah di luar negeri, kita ambil yang baik-baiknya saja dan tetap memegang nilai-nilai luhur warisan bangsa. Berbanggalah dengan apa yang kita miliki. Preeet! Terdengar akrab sekali gak sih di kuping? Kaum borjuasi Indonesia juga nampaknya keribetan dengan dilema dualisme inlanderisme dan chauvinisme kepriyayian mereka ini, hahak! (Saya lupa ini ada di episode berapa. I’ll be back with the screenshot when I find it)

Alih-alih menampilkan keluarga chaebol, Jung Sung Soo menampilkan keluarga kaya pemilik firma hukum yang memegang teguh “Bibit, Bebet, Bobot”. Dengan strategi ini, HITTG sekaligus menyasar hukum yang mandul dan keadilan yang sayangnya berpihak pada uang dan koneksi. Di permukaan semuanya terlihat manis, adil dan menjunjung tinggi HAM, padahal di dalamnya disesaki praktek licin, kotor dan menjijikkan.

Komedi gelap sepertinya merupakan pendekatan paling pas untuk menyampaikan materi dan naskah Jung Sung Joo yang sarat kritik. Dengan banyaknya pesan yang ingin disampaikan, Ahn Pan Seok ketat menjaga alur dan emosi sehingga nyaris tidak ada adegan yang sia-sia. Ditambah dengan editing yang jeli, 30 episode HITTG terasa bagaikan menonton “Homeland” versi drama. Tegang bok!

Tegang, menggelikan dan menyentuh. HITTG juga menghadirkan kehangatan hubungan antar manusia yang tulus dan seringkali terdapat dalam hal-hal kecil yang sederhana atau bahkan dalam keputusasaan. Walaupun seringkali didera kebimbangan, manusia-manusia di dalam HITTG mungkin merupakan simbolisme harapan akan manusia dengan hati nurani yang sehat. Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya bersih dan melepaskan diri dari lingkaran setan sistem yang busuk, tapi penting untuk selalu menyadari apa yang salah dari masyarakat dan sistem tersebut.

vlcsnap-00071 vlcsnap-00073

Secara sinematografis, HITTG lebih banyak menggunakan gambar dengan variasi teknik medium shots, dibandingkan dengan kebanyakan drama Korea yang gemar menggunakan close up shots. Mungkin, ini hanya sekedar analisa dangkal sih, HITTG ingin mengajak penontonnya untuk melihat gambaran dunia yang lebih luas, dimana keberadaan kita selalu terkait dengan sistem yang lebih besar. Kebalikan dari umumnya penggunaan close up shots di dalam dunia drama yang jika sekarang disandingkan dengan HITTG terasa lebih “egois” atau self-centered. Mungkin lho…

Seimbang dengan naskah; set, kostum bahkan musik pun dihadirkan dengan kecermatan detil yang nyaris sempurna. HITTG menghindari menggunakan lagu pop (OST adalah bagian penting dari drama Korea) sebagai latar belakang adegan, tapi menggunakan musik yang memang digubah khusus untuk drama ini. Mungkin ini trademark-nya Ahn Pan Seok ya, di “Secret Love Affair” dia juga tidak menggunakan lagu-lagu populer, tapi mungkin juga karena “Secret Love Affair” berlatar belakang dunia musik klasik.

Dan yang paling utama tentunya kecermatan detil ini sangat terlihat dalam penulisan karakter-karakternya. Dengan Han Jeong Ho (bapak Han In Sang) di satu kutub dan Kim Jin Ae (ibu Seo Bom) di kutub lainnya, Jung Sung Joo menampilkan karakter-karakter utuh lainnya dalam spektrum tersebut. Han Jeong Ho (yang diperankan super ciamik oleh Yu Jun Sang) adalah perwujudan “Monster Menyedihkan” (pendapat Seo Bom tentang ayah mertuanya) sedangkan Kim Jin Ae (Yoon Bok In) adalah perwujudan harapan akan manusia ideal yang “baik dan sehat”. Sedangkan semua karakter lainnya terombang-ambing di dalam spektrum kebimbangan tersebut.

vlcsnap-00065 vlcsnap-00049

Menggunakan istilah yang sangat borjuis, HITTG terasa seperti sebuah Mahakarya. Mungkin juga merupakan salah satu pencapaian terbaik sinema Korea Selatan, melampaui batasan formatnya. Bagi saya, tidak lagi menjadi penting apakah karya ini dihadirkan melalui layar kaca atau layar lebar.

Di luar Han Jeong Ho dan kaum borjuis lainnya, semua manusia ini berjuang untuk menemukan diri mereka kembali. Han In Sang (Lee Joon, noona padamu!) bagaikan mimpi revolusi munculnya pemberontak dari dalam lingkaran kaum borjuis itu sendiri yang menusuk tepat di jantungnya.

HITTG mungkin tidak akan sekonyong-konyong menimbulkan kesadaran kolektif akan rusaknya sistem sosial masyarakat, namun mengutip ucapan Yoon Je Hoon (Kim Kwon), “Aku cuma berharap dapat membuat lubang kecil.”

Yang lemah mungkin akan menyerah karena lelah dan kekuasaan bisa saja selamanya bercokol di atas. Namun HITTG sepertinya ingin memberikan harapan akan semangat perjuangan yang tak pernah henti, sekecil apapun itu.

vlcsnap-00074vlcsnap-00075

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

2 thoughts on “Menguliti Pretensi Basi Kaum Borjuasi: Heard It Through The Grapevine (풍문으로 들었소) (2015)

Leave a comment