Malam Jumat bersama para Laki Kebelet Macho

Poster-film-Sabtu-Bersama-Bapak-1

Di satu malam Jumat yang ceria, beberapa penulis Pop Teori nonton Sabtu bersama Bapak. Karena banyak kesamaan pendapat, kami kumpulkan dalam satu postingan ini, dengan 3 angle dari 3 orang yang beda.

rinduayah sekedar tagar (Edo Wallad) 

Bapak saya meninggal di bulan Ramadhan. Ada banyak penyesalan yang saya simpan pada beliau sampai-sampai ketika beliau koma saya tidak mau pergi dari rumah sakit dan akhirnya bisa menemani dia di saat terakhir. Meski begitu penyesalan masih tersimpan karena ada banyak yang belum saya sampaikan pada dia. Saat itu saya harus berusaha mengikhlaskan hati saya supaya beliau bisa pergi dengan tenang ketimbang harus menanggung sakit yang luar biasa. Tapi bertahun kemudian, jika saya bisa mengulang waktu, saya merasa satu hari lagi bersamanya adalah hari yang berarti. Saya tidak punya privilege untuk punya rekaman video bapak yang bisa saya putar di tiap hari sabtu makanya saya berharap film ‘Sabtu Bersama Bapak’ akan jadi film pengobat #rinduayah. Apalagi film ini adalah film yang dapat panggung di waktu lebaran.

Monty Tiwa sebelumnya pernah menjadi sutradara ‘Test Pack’ yang adalah satu film sangat bagus menurut kami dan sangat bisa relate ke orang-orang yang #rindujadiayah namun lagi-lagi tidak punya privilege, untuk jadi ayah. Berbeda dengan Satya dan Cakra. Mereka berdua punya privilege untuk menunggu hari sabtu agar bisa menonton rekaman video almarhum si bapak dan khusus untuk Satya dia punya privilege lain, jadi orang yang punya segudang prestasi dan akhirnya tinggal di Paris bersama istri dan dua orang anak laki-lakinya. Sayang sekali #rinduayah yang digadang-gadang menurut saya cuma jadi sekadar tagar dan judul ‘Sabtu Bersama Bapak’ jadi sekadar judul janji palsu.

Premis meninggalkan pesan untuk dibaca/ditonton setelah orang tersebut mati bukan hal yang baru dalam sastra dan film populer. P.S. I Love You melakukannya dalam bentuk surat. Il Mare dan adaptasi Hollywoodnya, The Lake House, adalah variasi lebih advance dari komunikasi lintas jaman karena dua pihak bisa bales-balesan walaupun dari dua timeline yang beda. Anjali di ‘Kuch Kuch Hota Hai’ menunggu setiap hari ulang tahunnya agar dia bisa baca surat dari almarhum ibunya yang membawa dia akhirnya menjodohkan sang ayah dengan cinta lamanya. Ibu Anjali tidak hanya sekadar memberi nasehat template yang bisa didapat dari guru bela diri (sang bapak di film sabtu bersama bapak seorang taekwondoin) tapi ibu dari Anjali bisa bercerita panjang lebar tentang persahabatan ayahnya dengan seorang istimewa yang jadi inspirasi nama Anjali. Pesan yang disampaikan ibu tidak normatif dan harfiah tapi bisa membuat Anjali nekad untuk mencarikan bapaknya jodoh. Tekad yang ditanamkan secara subtle itu tidak bisa dilakukan di pesan-pesan moralis dan normatif Mario Teguh bertampang Abimana. Pengulangan premis nggak pernah masalah, tapi apa Sabtu bersama Bapak bisa membuat ini lebih menyentuh? Padahal menurut saya ada banyak hal yang bisa menyentuh dari kenangan anak laki-laki pada almarhum bapaknya yang bisa jadi tearjerker. Seperti saya yang selalu minta tidur dengan baju ayah ketika ayah sedang tugas keluar kota.

Ketika media yang menjadi alat pesan itu adalah sebuah video, seharusnya dia bisa lebih lincah bukan sekadar rekaman bapak duduk seperti seorang ketua parpol mengucapkan selamat idul fitri di stasiun TV. Bro… kenapa si bapak gak merekam tips-tips hidup yang lebih praktis dan dalam angle yang tidak statis seperti cara memaku dengan palu yang benar, cara mengikat dasi, cara menulis surat untuk cewek  gebetan atau bahkan mengajarkan sang anak bagaimana mengganti ban mobil yang kempes. Mungkin pesan yang disampaikan jadi sangat maskulin namun kesannya subtle dan tidak formal. Bahkan adegan sang ayah mengajarkan taekwondo pada Satya ada baiknya ada di rekaman video, bukan rekaman ingatan. Tapi akan lebih bagus lagi pesan yang disampaikan ayah bukanlah pesan yang melulu maskulin. Seperti bagaimana mengganti popok bayi, mencari kutu di rambut anak, menanam bunga di taman atau teknik memasak cepat dan mudah -ini dibutuhkan Satya ketika ditinggal istri di luar negri-.
krisis maskulinitas (Ratri Ninditya)

Nampaknya Adhitya Mulya punya krisis maskulinitas dan Monty Tiwa mengamini konsep-konsep kelakilakian dia. Sabtu bersama Bapak jadi film yang dijejali dengan prinsip “lelaki sejati” ala iklan rokok dan minuman energi, ceramah-ceramah nggak jejek, dan karakter yang nggak bikin simpatik, karena mungkin penulisnya terlalu malas untuk memahami karakter yang ia tulis sendiri.

Sebelum diluncurkan film ini terlihat sangat menjagokan premisnya. Sehingga kami otomatis menonton karena ingin mencari pesan apa sih yang bapak itu sampein? Pasti ada sesuatu yang sangat spesial. Ternyata, pesan bapak adalah kalimat-kalimat klise yang berulang kali bisa kita baca di buku pelajaran agama Islam dan buku-buku self-help yang semarak menghiasi toko buku Gramedia.

Sabtu bersama Bapak hanya mengulang prinsip prinsip kuno yang menganggap suami itu adalah imam, adalah breadwinner keluarga, adalah satu-satunya orang yang menentukan keluarga ini mau dibawa ke mana. Laki-laki harus selalu berprestasi (adegan sejembreng piala di rumah lengkap dengan ijazah-ijazah universitas terkemuka di Bandung itu seperti sebuah deskripsi malas yang dilakukan banyak sinetron untuk menunjukkan pencapaian). Laki-laki harus kuat, harus ada banget tuh adegan latihan taekwondo. Bapak punya dua anak lelaki. Anaknya si Satya punya dua anak lelaki juga. Kenapa nggak cewek? Yang paling penting, laki-laki harus bisa melengkapi dirinya sendiri. Pesan terakhir itu dikemas dalam film ini seperti sebuah filosofi kehidupan pamungkas yang dinyatakan sambil ada background vokal seriosa dan angin sepoi-sepoi pantai ancol. Tapi buat kami, gitu aja nih?

Hal ini menguatkan keyakinan kita, bahwa penulis dan sutradara punya krisis maskulinitas akut yang mereka tidak sadari. Kenapa? Kalo sadar, ya bikin dong karakternya lebih nelongso, lebih gagal, lebih penuh beban pada pundak brototnya. Sayangnya, semua karakter cowok di sini serba flat (apalagi karakter ceweknya). Mana penderitaannya? Mana strugglenya? Nampaknya jomblo 30 tahun dan ditinggal kabur beberapa hari oleh istri udah jadi ultimate cobaannya mereka. What’s the big deal?

Krisis maskulinitas akut juga sangat literal keluar dalam dialog-dialog di film ini: “istri adalah perhiasan”, “kamu telah gagal jadi istri”, “saya mau kamu jadi pacar saya” (bukannya nanya, mau gak kita pacaran), “benerin dulu masakan kamu”, “saya udah kasih rumah buat kamu itu sia-sia?”. Nggak ada kalimat/aksi balasan di cerita ini yang setara buat nimpalin makian seksis itu. Bahkan, Satya nyadar dosanya maki-maki istrinya saat liat istrinya nanya resep sama ibunya sambil sit up. Tuhan, tolonglah hambaMu, sampai kapan endonesa mau nganggep kalo istri yang baik adalah yang masaknya nyamain masakan ibu si suami, yang di rumah ngurus anak, jaga bodi tetep singset, dan nurut rencana yang disusun suami?

Lalu, yang lebih parah lagi, film ini tidak memberi ruang buat kami untuk mengenal sosok sang bapak. Siapa dia selain tukang ceramah dalam televisi yang mukanya kebetulan ganteng? Film ini, yang niatnya mau memuliakan figur bapak justru menempatkan dia sebagai orang yang control freak, diktator dengan segudang ego yang berkedok sayang istri anak, mirip para lelaki Corleone di film The Godfather, yang (kami yakin ini bukan kebetulan) dijadikan pajangan di kantor Cakra. Kode lain sepertinya lebih tidak sengaja muncul di saat Satya tangannya patah ketiban “pipa” yang jatuh dan dia nggak mau kasih tau istrinya (phallus yang jatuh, kelaki-lakian yang gagal), saat yang bikin Cakra jatuh cinta adalah sepatu hak tinggi seorang perempuan (simbol seksual berkedok religi yang super obvious. lagian bukannya kalo di kantor mau sholat lo ganti sendal jepit yeh).

Dari segi casting, dua hal yang sangat mengganggu. Kenapa Ira Wibowo harus jadi versi muda si ibu juga? Kedua, semua talent anak kaku dan ngeselin. Ada lagi, semua bakat potensial aktor dan aktrisnya sama sekali nggak digali, atau lebih tepatnya, nggak tergali karena karakterisasi cetek kurang riset. Mustinya kita bikin tagar baru lah, #rinduriset #rindubacabuku #rindunonton biar penulis ama sutradaranya bisa lebih menghargai profesi mereka sendiri.

sabtu bersama bapak = tuesdays with morrie? (Festi Noverini)

Pertama kali denger judul film ini tentunya kami nggak bisa melepaskan kecurigaan bahwa bukunya si Adhitya Mulya amat sangat ‘terinspirasi’ oleh “Tuesdays With Morrie”-nya Mitch Albom. Antara ya dan tidak. Saya sampai harus membaca ulang buku tersebut, which turned out to be a waste of my precious time (we’ll get to there in another review).

Adhitya mengikuti pola yang sama dengan Albom. Anak muda cemen yang berpikir bahwa prestasi adalah segala-galanya kemudian tercerahkan setelah belajar dari yang lebih tua, lebih bijaksana. Satya dan Albom sama-sama terjebak materialisme karena ketakutan kehilangan waktu yang berharga. Dua-duanya in demand, dua-duanya hotshot, dua-duanya clueless dan kurang wawasan. Adhitya dan Albom justru semakin meneguhkan stereotip bahwa mereka yang hidupnya penuh prestasi ya pada akhirnya akan jadi cetek aja karena #kurangbelajar #kurangpikir #kurangwawasan. Yang mereka tau ya cuma itu-itu aja. Walaupun gak se-patriarkal Adhitya, Albom juga sama konservatifnya (“This is okay with you, isn’t it? Men crying?”) Klisenya sih sama. In the end “Love wins. Love always wins.” Pret. Semacam chick lit versi laki-laki. Can we please come up with a term for this? Biar seksisnya adil.

Setelah hampir 20 tahun lalu berlalu, gak ada perubahan yang berarti dari buku-buku genre ini. ‘Tuesdays’ diterbitkan tahun 1997, ‘Sabtu’ tahun 2014. Dua-duanya sama-sama berbagi kisah inspiratif dari self-absorbed privileged people. Nyaris nggak ada tuh hubungan mereka dengan atau bagaimana mereka melihat dunia luar (kalaupun ada di ‘Tuesdays’, ya rasanya cuma sebagai alasan nggak esensial), yang ada cuma “self, self, self”. Hasilnya ya dua anak yang clueless bin teoritis karena yang dipelajarin cuma kuliah satu arah dari video si Bapak.

Lucu bahwa kami melihat Bapak sebagai seorang control freak karena Albom pun juga seorang control freak.
“Instead I buried myself in accomplishments, because with accomplishments I could control things, I could squeeze in every last piece of happiness before I got sick and died, like my uncle before me, which I figured was my natural fate.”

Dimana ‘Tuesdays’ (dan ‘PS I Love You’, ‘Il Mare’, ‘The Lake House’, Kuch Kuch Hota Hai’ dll) menghadirkan pengulangan kehadiran si orang lain sebagai tokoh utama lainnya, di Sabtu si Bapak cuma jadi perhiasan aja, sama seperti gimana dua anak si Bapak memandang perempuan-perempuan di kehidupan mereka seperti perhiasan. Menyedihkan. Si Bapak nggak pernah benar-benar ‘hadir’ dalam hidup mereka. Cuma jadi legenda, mitos dan silabus yang ditunggu setiap Sabtu tapi muncul cuma secuil di film ini. Satu-satunya adegan yang sedikit membuat saya tersentuh ya cuma saat Satya bermimpi ketemu Bapaknya dan melapiaskan kemarahan ke Bapaknya karena pesan-pesannya “misleading” (lha lu aja yang gableg mikir kok literal amat). Ada sedikit ketulusan walau itupun juga diragukan apakah karena bagian itu ditulis lebih baik atau memang karena Abimana aktor yang ok aja (karena Arifin, yang emang punya tendensi lebay, agak lebay di sini).

Satya, Saka dan ibunya lebih terlihat sebagai 3 manusia yang hidup sendiri-sendiri yang dihubungkan oleh ilusi “the Great Bapak”. Entah apakah novelnya juga sepatah-patah ini atau memang penyutradaraan filmnya saja yang patah-patah. Dari Satya, loncat ke Saka, loncat ke Ibu, semua dengan isunya masing. Sure, setiap orang punya isunya masing-masing dan idealnya memang setiap tokoh dihadirkan utuh tanpa ada yang jadi lebih utama dan selebihnya jadi figuran. Tapi ini cemplang banget lho, kayak mata lo tiba-tiba disenterin di ruang gelap pekat, gak ada transisinya. KZL kan? Ditambah akting semua pemain di luar Abimana yang kayak shooting FTV kejar setoran, kayak si dua anak buah gengges yang jadi bikin kami mikir, ini kantor atau playgroup? Lengkap sudah garingnya.